Alfini Ramdhini Dg Lu’mu (Mahasiswi S1 PGSD Universitas Muhammadiyah Makassar)
Pendidikan di Indonesia pertama kali di prakarsai oleh bapak guru pendidikan Ki Hajar Dewantara. Pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewanatara ini lahir tentu tak lepas dari situasi sosial politik yang berkembang saat itu. Dimana pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Kolonial Belanda cenderung disetting hanya untuk mencetak melahirkan generasi pekerja. Artinya, spirit pendidikan Belanda dianggap tidak mampu menjawab dan memberikan solusi bagi kehidupan bangsa Indonesia, karena latar belakang kultur kedua bangsa Indonesia dan Belanda berbeda. Spirit yang dibawa Ki Hajar Dewantara pada saat itu dia menginginkan pendidikan yang merata, bukan saja pendidikan yang di akses oleh orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi yang baik. Tetapi pendidikan harus di akses oleh Pseluruh rakyat Indonesia. Pemikiran Ki Hajar Dewantara juga sama dengan pemikiran Paulo Freire. Dalam bukunya pendidikan kritis; pendidikan bukan saja milik kaum borju. Tapi, pendidikan seharusnya milik semua manusia.
Di samping itu, Ki Hajar Dewantara juga mengkritik tenaga pengajar yang sampai sekarang seharusnya menjadi referensi bagi seluruh tenaga pendidik. Ki Hajar Dewantara berkata: Ing Ngarsa sung tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Yang artinya : Di depan menjadi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberikan dorongan. Spirit inilah yang seharusnya dimiliki oleh seluruh elemen yang bergerak di bidang pendidikan, baik itu guru, pemerintah, keluarga ataupun peserta didiknya.
Namun, yang terjadi pada saat ini pendidikan tidak berkembang secara merata. Terkhusus di Indonesia, pendidikan tidak dapat di akses orang-orang yang berada jauh dari pusat kota. Indonesia memiliki sistem sentralisasi, pembangunan terhadap fasilitas pendidikan hanya di fokuskan pada kota-kota yang besar saja. Pembangunan hanya di fokuskan pada daerah barat Indonesia yang notabene nya dekat dari pusat pemerintahan. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya angka putus sekolah, Data UNICEF tahun 2016 sebanyak 2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Salah satu faktor nya juga kurangnya tenaga pendidik yang memadai hingga membuat pendidikan tak bisa di akses hingga ke pelosok negeri. Pendidikan juga tidak merata terjadi di kota, masih banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah dikarenakan biaya pendidikan yang semakin tinggi bertolak belakang dengan kualitas pendidikan yang begitu-begitu saja.
Bukan saja masalah kuantitas pendidikan kita, permasalahan dalam kualitas pendidikan di Indonesia pun masih jauh dari kata “baik”. Pendidikan di Indonesia membawa kita dalam berfikir mekanik, yang artinya peserta didik di ajarkan untuk berfikir menjadi tenaga kerja, bukan lagi menjadi suatu kebutuhan untuk mencerdaskan. Sistem ranking seolah-olah menjadi tuntutan bagi peserta didik untuk memiliki nilai yang baik dengan mengindahkan substansi dari ilmu yang coba di transferkan kepada mereka dan menjadi diskriminasi bagi mereka yang memiliki nilai rendah. Berdasarkan data dari UNESCO Indonesia memiliki skor 0,603 dari segi kualitas pendidikan atau peringkat kelima dari tingkat ASEAN. Tentu saja ada beberapa faktor yang membuat Indonesia berada pada peringkat rendah diantaranya ialah; rendahnya mutu pendidikan, kurangnya keefektifan dan efisiensi, kurangnya sarana-prasarana, dan rendahnya prestasi siswa. Adapun cara untuk meningkatkan peringkat pendidikan Indonesia di wilayah ASEAN, yaitu; peningkatan kualitas pendidik, peningkatan dana pendidikan, dan juga peningkatan prestasi individu.
15 tahun kedepan ada banyak perubahan pada pasar kerja dunia, dengan adanya perubahan pada pasar kerja dunia, harusnya juga ada inovatif untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia yaitu mencetak generasi yang berpikir kritis, peduli sosial, dan kreatif, dan berjiwa pemimpin, bukan generasi robot yang hanya mementingkan diri sendiri akibat krisis sosial dan hanya agar mencetak generasi penerus bangsa yang siap bersaing di pasar kerja dunia. Jadi sebelum ada banyak perubahan yang terjadi di pasar kerja, masyarakat dan sekolah harus mengadakan perubahan, menjadikan sekolah dan belajar adalah kebutuhan selama-lamanya.