Berpikir kritis merupakan orientasi pendidikan Abad 21. Menurut Facione berpikir kritis adalah kemampuan untuk membuat penilaian yang bertujuan tentang apa yang harus dipercaya atau apa yang harus dilakukan. Berpikir kritis merupakan keterampilan mental yang diperlukan bagi setiap peserta didik untuk tahu cara belajar dan cara berpikir jernih (Halpern, 1998). Selain itu, keterampilan ini juga dibutuhkan oleh peserta didik pada saat berhadapan dengan beragam masalah. Baik masalah belajar maupun kehidupan sehari-hari. Berpikir kritis tidak hanya sekadar mengasah kemampuan peserta didik menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh tendik di ruang-ruang kelas, tetapi juga mereka diharapkan mampu memecahkan masalah, mengambil keputusan, dan berpikir tingkat tinggi (Case, 2002; Taylor & Patterson, 2000). Berpikir kritis dapat melatih peserta didik untuk mahir menyusun sebuah argumen, memeriksa kredibilitas sumber, atau keputusan. Karena itu, keterampilan ini sangat penting dikuasai oleh peserta didik.

Setiap peserta didik harus mahir berpikir kritis. Namun realitasnya, keterampilan ini masih jauh dari harapan. Keterampilan berpikir kritis peserta didik di Indonesia berada pada kategori rendah. Menurut hasil survei ‘Programme for International Student Assesment’ (PISA) mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Hasil studi PISA yang dirilis tahun 2012 menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 65 negara. Sementara itu, hasil studi “Tren in International Mathematics and Scince Study” (TIMSS) tahun 2011 menunjukkan Indonesia berada diperingkat ke-38 dari 42 negara. Penelitian yang dilakukan berskala internasional ini memuat soal-soal yang terdiri dari masalah-masalah yang tidak rutin untuk mengukur kapasitas berpikir tingkat tinggi peserta didik. Pengukuran yang melibatkan keterampilan berpikir kritis dalam pengerjaan soal itu menunjukkan hasil bahwa peserta didik kita sangat jauh dari harapan untuk menjadi warga negara yang berkualiatas dan berdaya saing.

Baca Juga :  FALSAFAH BUGIS “LAO SAPPA DECENG, LISU MAPPADECENG” MENJADI SEMANGAT MAHASISWA ASAL SUL-SEL MENYELESAIKAN STUDI DITENGAH PANDEMI

Rendahnya keterampilan berpikir kritis peserta didik bukan berarti bahwa peserta didik kita tidak mampu mengoperasikan keterampilan tersebut. Setiap peserta didik memiliki potensi berpikir kritis. Hanya saja, keterampilan ini kemungkinan besar kurang diasah dengan baik di ruang-ruang kelas. Sebagai imbasnya, peserta didik menunjukkan hasil yang rendah. Tendik memiliki peranan strategis untuk meretas masalah rendahnya berpikir kritis peserta didik. Dengan kata lain tenaga pendidik (tendik) memainkan peranan penting untuk mengasah ketajaman berpikir kritis peserta didik. Sekalipun saat ini proses belajar mengalami pergeserakan karena Covid-19 ke pembelajaran  jarak jauh (PJJ). Keterampilan ini masih tetap dapat ditumbuh kembangkan oleh tendik. Keterampilan berpikir kritis peserta didik dapat dikembangkan oleh tendik baik melalui kelas online (dalam jaringan) maupun luar jaringan (offline).

Dalam konteks pengajaran bahasa Indonesia, keterampilan berpikir kritis misalnya dapat dilatihkan oleh tendik melalui kegiatan membaca bahan bacaan sastra, baik dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring). Membaca bahan bacaan sastra dapat dimanfaatkan oleh tendik untuk mengasah kecapakan berpikir kritis peserta didik. Hal ini sebagaimana diungkap oleh banyak peneliti diantaranya Tung dan Chang (2009), Khatib & Alizadeh (2012), Kohzadi, Azizmohammadi, dan Samadi (2014). Semua peneliti ini mengklaim bahwa membaca bahan bacaan sastra potensial untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Menurut mereka, teks-teks sastra, karena memerlukan pemikiran imajinatif, kreatif, penalaran, dan inferensi sangat membantu peserta didik untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Membaca bahan bacaan sastra tidak hanya menumbuhkan pemikiran imajinatif, tetapi juga daya kritis peserta didik.

Menurut Tung dan Chang (2009), membaca sastra adalah proses kompleks yang mengharuskan pembaca mengingat, mengambil, dan merenungkan pengalaman dan ingatan mereka sebelumnya untuk menciptakan makna dan pesan teks. Lebih lanjut Ia jelaskan bahwa dalam proses membaca karya sastra, pembaca secara simultan memanifestasikan berbagai kemampuan diantaranya membedakan fakta dari berbagi sudut pandangan;  memahami makna tersurat atau tersirat; mendeteksi detail terkait dengan hal-hal yang dibahas;  memahami hubungan yang tidak direncanakan atau hubungan antara urusan atau perbuatan; membedakan tautan inferensial dari detail yang terlihat; membuat analisis dan penilaian yang tidak memihak; dan yang terpenting, untuk menggunakan apa yang telah mereka pelajari untuk bidang lain atau dunia nyata. Berbagai kemampuan yang terlibat pada proses membaca karya sastra ini, secara langsung tekait dengan proses berpikir kritis, yakni analisis, sintesis, argumentasi, interpretasi, evaluasi, pemecahan masalah, dan penalaran (Brunt, 2005; Facione, 2007).

Baca Juga :  WEBINAR NASIONAL: PELUANG DAN TANTANGAN MENINGKATKAN KOMPETENSI MELALUI BEASISWA PENDIDIKAN

Secara teoretis, membaca bahan bacaan sastra dapat mengasah ketajam berpikir kritis. Oleh sebab itu, secara praktisnya, pengemasan bahan bacaan sastra ke dalam bentuk strategi belajar dapat ditempuh oleh tendik untuk mengembangkan keterampilan tersebut. Dengan kata lain, tendik yang hendak melatih keterampilan berpikir kritis peserta didik dapat mengola bahan bacaan sastra sebagai strategi belajar yang berorientasi pada keterampilan berpikir kritis. Caranya. Tendik dapat mengemas atau mengambil bahan bacaan sastra pada cerpen, novel, atau laman yang berkonten atau bergenre sastra. Selanjutnya, tendik dapat menyusun beberapa pertanyaan yang berorientasi pada keterampilan berpikir kritis. Di sini, tendik dapat memilih bentuk pertanyaan secara bertingkat, mulai level rendah sampai level tingkat tinggi (baca: taksonomi Bloom). Pada level berpikir tingkat tinggi misalnya, pertanyaan yang dapat diajukan berdasarkan bahan bacaan sastra yang telah dipilih oleh tendik adalah “mengapa” dan “bagaimana” (baca: bentuk pertanyaan membaca kritis).

Tenaga pendidik adalah navigator dalam proses belajar peserta didik. Oleh sebab itu, mereka harus memiliki kreativitas dalam mendesain suatu proses pembelajaran. Dengan kreativitasnya itulah, diharapkan peserta didik dapat sampai di ‘dermaga’ (tujuan pembelajaran).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *