Nana Suryana, S.Ag. M.Pd.
Dosen IAILM Suryalaya Tasikmalaya
Kehadiran virus corona atau covid-19 di tengah-tengah kita bukan hanya melahirkan budaya adaptasi kebiasaan baru, juga menganggu tatanan kehidupan, tak terkecuali ketahanan keluarga. Keharmonisan, keakraban, dan komunikasi dalam keluarga telah mengalami distorsi yang begitu kuat. Disadari ataupun tidak, ini salah satu efek domino dari pemberlakuan pembelajaran jarak (PJJ), belajar di rumah (BDR) yang memaksa setiap kita tidak bisa lepas dari gadget serta menggiring anak-anak ‘’menjadi gila’’ gedget. Banyak anak yang lupa makan, mandi, bahkan lupa melaksanakan ibadah karena dia enjoy dengan gedgetnya.
Disisi lain, keluarga merupakan madrasah pertama dan utama bagi anak. Keluarga menjadi ruang dan kelas pertama bagi anak. Keluarga juga menjadi pintu masuk bagaimana proses penanaman nilai-nilai agama sejak dini. Karena secara fungsional keluarga memiliki fungsi psikososial yaitu berupa perawatan terhadap anak, mengajarkan anak untuk bersosialisasi, membentuk sifat atau mengendalikan emosional tiap anggota keluarga, sebagai dukungan materi, dan pemenuhan peran-peran tertentu. Intinya, pengertian keluarga secara fungsional ini lebih fokus terhadap tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh setiap anggota keluarga.
Pendidikan Islam
Setiap manusia bisa menjadi manusia secara sempurnan karena pendidikan. Pendidikan yang mampu memanusiakan manusia dalam berbagai aspek (jasmani, akal, dan ruhani) berdasarkan nilai-nilai ke-Islaman. Itulah hakikat dari pendidikan Islam. Bertemali dengan hakikat pendidikan Islam, pendidikan Islam memiliki tugas mengembangkan potensi manusia, pewarisan budaya, dan interaksi antara potensi dan budaya.
Objek pendidikan Islam adalah manusia. Siapakah manusia? Dalam pandangan Islam manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang terdiri dari tiga unsur (jasmani, ruhani, dan akal). Maka tujuan pendidikan Islam adalah bagaimana mamaksimalkan unsur-unsur manusia tersebut sesuai tuntutan quran dan hadits nabi. Ada empat yang menjadi foksu dari tujuan pendidikan Islam yaitu, ahdaf Al-Jismaniyah (penyempurnaan jasmani), ahdaf al-ruhiyyah (penyempurnaan rohani), ahdaf al-aqliyah (penyemprunaan akal), ahdaf al-ijjtimaiyah (penyempurnaan kemampuan sosial) anak.
Sejalan dengan tujuan pendidikan Islam, dalam sistem pendidikan nasional pendidikan dijelaskan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Apakah kemudian pendidikan telah mampu berfungsi secara maksimal?
Pendidikan Islam saat ini sedang mengalami kemerosotan. Luaran (out come) dari proses pendidikan Islam masih belum sesuai dengan hakikat pendidikan Islam itu sendiri. Masih banyak orang yang memiliki pengetahuan agama Islam luas, namun perilakunya belum sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimilikinya. Mengapa hal itu terjadi? Bisa jadi ada keselahan dalam menggunakan metede pembelajaran agama Islamnya.
Secara umum pendidikan Islam saat ini sedang menghadapi tantangan baik eksternal mapun ekternal. Tantangan ekternal meliputi pengaruh globalisasi, demokratisasi, liberalism Islam. Sedangkan tantangan internal meliputi persoalan dikotomi pendidikan, tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam, persoalan kurikulum atau materi, dan kualitas pendidik.
Terkait kualitas pendidik, yang kita butuhan di masa pandemi saat inia adalah pendidik yang memiliki sifat liberatif, transformatif, dan ilunatif. Sikap liberatif ditandai dengan kemampuan guru yang mampu memberikan kebebasan belajar kepada anak didik; pendidik yang mampu membuka wawasan anak didik secara terbuka; pendidik yang tidak memaksakan pemikirannya kedalam pemikiran anak didik); transformatif yaitu guru yang mampu mentransformasi nilai-nilai agama Islam secara simultasn, bukan hanya pada domain kognitif, psikomotorik, tetapi yang lebih penting domain afektif; dan ilunatif yaitu guru yang mampu memberikan ilustrasi-ilustrasi yang merangsang peserta didik memahami agama Islam dan nilai-nilainya secara menyenangkan, bukan hanya kompeten memaksakan dogma dan doktrik agama secara kaku kepada peserta didik.
Selain ketiga sifat tersebut, di masa pandemi ini guru juga harus memiliki kemampuan literasi, bukan hanya literasi lisan melainkan juga literasi digital, kemampuan ICT, dan metodologi pembelajaran yang inovatif serta kreatif. Kemampuan dalam menerapakan metode pembelajaran yang inovatid dan kreatif diduga akan mampu melahirkan luaran (out come) sesuai tujuan pendidikan Islam.
Ada sebuah motode pembelajaran yang bisa diterapkan guru dalam proses pendidikan Islam yaitu metode internalisasi. Internalisasi merupakan sebuah cara mengajarkan dan menanamkan nilai agama Islam pada peserta didik sehingga pengetahuan agama Islam tersebut menginternalisasi (mendarah danging) pada diri peserta didik serta menjadi karakter. Guna mempermudah penerapan metdoe tersebut ada beberapa teknik yang harus diterapakan yaitu teknik peneladanan dari guru, pembiasaan, pemotivasian, dan penegakan disiplin.
Ketahanan Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil yang dalam masyarakat. Sebagai sebuah unit maka ada elemen lain yang saling keterkaitan yaitu, ayah, ibu, dan anak. Melalui unit ini sejatinya pendidikan agama Islam terbangun secara kokoh. Pandemi covid -19 telah memberikan dampak terhadap keluarga. Menurut survei Sunarti (2020) ada beberapa dampak yang terjadi dalam keluarga selama pandemi ini, yaitu; terjadi perluasan kerentanan dan kritis keluarga, keluarga mengalami resesi ekonomi, ketidaktahanan pangan dan gejala stres dan gangguan kesejahteraan psikologis.
Selain dampak, ada juga dampak positif di balik pandemi, yaitu kehidupan lebih banyak bersama keluarga, tumbuhnya solidarias antar sesama, kesadaran tentang pola hidup sehat meningkat, dan tingkat polusi udara berkurang. Pertaanyaan kemudian adalah keluarga seperti apa yang mampu mengaktualisasi pendidikan Islam terutama di masa pandemi ini? Jawabnya keluarga yang memiliki kemampuan beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit sehingga dapat menjaga ketenangan, ketentraman atau kedamaian dalam kehidupan berkeluarga.
Untuk menghadapi masa-masa sulit di era pandemi ini, keluarga harus memiliki tiga reseliensi (ketahanan) yaitu sakinah, mawaddah warahmah. Resiliensi sakinah diartikan sebagai ketenangan, ketentraman atau kedamaian. Resiliensi mawaddah dapat diartikan sebagai cinta dan kasih sayang. Perasaan cinta ini mampu memberikan perasaan saling memiliki dan saling menjaga. Sedangkan resiliensi warahah yang diartikan sebagai kelembutan hati atau belas kasih.
Sakinah merupakan tujuan dalam membangun keluarga, sedangkan mawaddah dan rahmah adalah pondasi untuk mencapai tujuan (sakinah). Untuk memperoleh keluarga yang sakinah, maka mawaddah dan rahmah dalam keluarga harus dibangun terlebih dahulu. Untuk membangun resiliensi dalam keluarga, ada tiga hal yang harus kita perhatikan yaitu membangun ketahanan spiritual keluarga,, membangun ketahanan psikologis, dan membangun ketahanan ekonomi.
Keluarga yang telah memiliki reseliensi dalam perspektif Islam ditandai dengan beberapa hal yaitu bersikap sabar, bersikap optimis, dan berjiwa besar. Inilah hakikat dari pencapaian keluarga sakinah mawaddah warohmah. ’Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang’. (QS. Ar-Rum :21).
———————————————————————————————-
*Disarikan dari webinar aktualisasi pendidikan Islam dalam ketahanan (relisiensi) guru dan orang keluarga di masa pademi, 09/01/2021.