Dewasa ini, di era Revolusi Industri 4.0, pembaca tidak hanya cukup memahami teks secara sederhana, apa adanya. Memahami teks secara sederhana sangat rentang untuk menggiring Si pembaca masuk ‘ke lubang’ kesesatan. Kesesatan dalam ilmu logika disebut sesat-nalar. Sesat-nalar ini terjadi karena menarik suatu kesimpulan dari pernyataan-pernyataan tanpa dilandasi bukti-bukti yang valid (baca: fallacy). Dalam konteks membaca teks, sebagian pembaca acap kali melakukan tindakan itu. Sebagian pembaca gagal paham bahwa isi dari suatu teks potensial untuk menyajikan informasi yang berisi pernyataan-pernyataan yang tidak valid atau kredibel.
Kegagalpahaman itu setidaknya dapat dibuktikan dari mudahnya sebagian pembaca kita menyimpulkan dan menerima secara mentah-mentah berita bohong (hoax). Bahkan parahnya lagi, teks yang diterima itu dijadikan seperti ‘bola salju’. Dari satu penerima teks hoax disebarkan lagi ke yang lain, yang lain menyebarkan lagi ke yang lainnya, dan seterusnya. Akibatnya, komsumsi informasi bohong (hoax) terjadi secara berjamaah. Inilah potret betapa sederhana dan ironisnya cara kita dalam memahami suatu teks.
Teks hoax berhasil berkembang biak dengan baik karena budaya literasi kita yang tidak kritis dalam memahami suatu teks. Fakta ini juga seolah-olah menguatkan temuan penelitian bahwa masyarakat kita memang masih sangat lemah perihal literasi (Baca: PISA, OECD, IEA, dan PIRLS). Bahkan, karena lemahnya, budaya literasi kita diposisikan sangat jauh dari negara-negara lain. Untuk negera tetangga saja, Malaysia, kita berada di bawah. Karena itu, tidak mengherankan jika kita dengan leluasa terobok-obok dengan teks-teks hoax. Di samping karena literasi lemah, daya kritis kita dalam memahami suatu teks memang masih terkesan biasa-biasa saja.
Bagi sebagian pembaca, umumnya, teks hanya sekadar dipahami sebagai suatu konstruksi kebahasaan (kata, klausa, kalimat, dan paragraf). Begitu pun, pemahaman kita tentang isi teks itu, masih sesuai karakteristiknya—untuk memberikan informasi, pengetahuan, peristiwa, dan hiburan. Sangat jarang, kita termotivasi untuk mengetahui bahwa suatu teks tidak hanya sebatas itu saja. Dengan kata lain, teks bagi kita jarang dipandang memainkan peranan tertentu atau memiliki motif terselubung di dalamnya. Alasan inilah, tulisan ini dihadirkan kepada pembaca.
Mengapa Teks Perlu Daya Literasi Kritis Pembaca?
Era digital sebagai penciri Revolusi Industri 4.0 menghendaki setiap pembaca teks berdaya kritis. Mengapa demikia?. Sebagaimana kita tahu bahwa di era ini, untuk memperoleh dan menerima beragam bentuk teks cukuplah mudah. Hanya dengan berbekal telpon pintar yang terisi paket data, beragam bahan bacaan (teks) dapat kita peroleh dengan sangat mudah. Beragam teks yang diperoleh itu baik melalui media sosial seperti whatsapp, facebook, dll., serta media cetak dan elektronik tentu perlu disaring oleh pembaca. Penyaringan itu sangat perlu dilakukan karena tidak semua informasi yang terdapat di dalam teks itu adalah informasi yang layak baca, akurat atau valid.
Setidaknya, saat ini, kita sebagai pembaca digital sedang diperhadapkan dengan 800.000 ribu situs yang teridentifikasi sebagai penyebar hoax (keminfo.go.id). Jumlah itu tidak sedikit. Satu saja situs penyebar hoax, dapat dipastikan mampu menyeret ribuan sampai jutaan pembaca ‘ke jurang sesat’, apalagi jika sudah mencapai ratus ribu itu. Di sinilah, mengapa literasi kritis memainkan peranan penting bagi pembaca. Tidak hanya sebagai perisai hoax, tetapi lebih dari itu. Literasi kritis juga dapat mendedah daya kritis pembaca untuk melihat dimensi lain dari teks.
Apa itu literasi kritis?. The Department of Education Tasmania (2010) mendefinisikan literasi kritis sebagai suatu pendekatan yang melibatkan analisis dan kritik antara hubungan teks, kekuasaan, dan praktik sosial. Dari definisi ini, secara sederhana, literasi kritis dapat kita maknai sebagai suatu cara pandang untuk melihat dunia teks terkait dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Orientasi literasi kritis adalah untuk mengajak pembaca bersikap kritis ketika berhadapan dengan beragam bentuk teks. Pembaca diajak untuk selalu merespon teks tidak bebas dari praktik sosial yang mengandung motif-motif tertentu. Teks dipandang memiliki motif tertentu untuk menanamkan pengaruh kepada pembaca, seperti propaganda dan persuasi. Teks-teks hoax cenderung bermotif propaganda dan persuasi.
Lebih dari itu, teks sebagai wujud pendayagunaan bahasa tulis dari sudut pandang literasi kritis dapat juga berupa upaya untuk melanggengkan kekuasaan dan menanamkan idiologikepada pembaca. Dalam hal ini, penulis/produsen teks dipandang acap kali menyuarakan kosakata tertentu di dalam teks untuk melanggengkan kekuasaan Sang penguasa. Kosakata infrastruktur, misalnya, di era Jokowi, meskipun menuai kritik dari pihak oposisi saat itu. Kosakata itu, secara nyatanya, mujarab untuk meyakinkan publik. Kosakata itu berhasil melanggengkan kekuasaan Jokowi ke periode selanjutnya. Mendikbud, Nadiem Makarim, misalnya, baru-baru ini memunculkan misi pendidikan, diantaranya adalah pendidikan karakter dan teknologi. Misi itu secara jelas berorientasi pada penanaman idiologi ke publik bahwa beliu mampu untuk mengemban tugas sebagai Mendikbud. Kosakata para elite politik itu banyak tertuang di dalam teks.
Literasi kritis menghendaki pembaca menggunakan lensa kritis tingkat tinggi. Literasi kritis mengajak pembaca untuk menganalisis dan mengevaluasi teks-teks yang dibaca dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis. Dalam konteks ini, pembaca dipacu untuk selalu bersikap kritis mempertanyakan berbagai motif dibalik teks. Pertanyaan itu dapat berupa siapa penulis/produsen teks itu, bagaimana sudut pandangnya, bagaimana latar belakannya, apa yang hendak disuarakan di dalam teks itu, kosakata apa yang mendominansi, mengapa kosakata itu dipilih—apakah ada maksud dan tujuan tertentu dibalik pendayagunaan kosakata itu, dalam situasi atau konteks apa teks itu dimunculkan, apakah ada bentuk diskriminasi atau penindasan yang ditonjolkan teks itu, dan apa tujuan utamanya. Sikap kritis maupun skeptis diperlukan pembaca untuk mengenali motif-motif tertentu dari suatu teks. Literasi kritis mengajak kepada pembaca untuk sadar bahwa setiap teks tidak lahir dari suatu kekosongan. Teks muncul dari panggung sosio-historis yang melatarbelakanginya. Suatu teks direkonstruksi dan diproduksi oleh pihak tertentu untuk berbagai kepentingan tertentu. Teks dapat memiliki kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik, kepentingan bisnis, dan kepentingan ideologi. Oleh karena itu, sikap curiga, adanya motif dibalik teks itu perlu dimunculkan oleh setiap pembaca ketika berhadapan dengan beragam bentuk teks. Kecurigaan ini sangat penting agar pembaca tidak serta merta-merta menelan atau menerima teks, yang pada akhirnya dapat memperdaya dan memprovokasi mereka.