Mufarrahatus Syarifah (Dosesn FKIP PGSD Universitas Abdurachman Saleh)
Munculnya wabah Covid-19 telah mempengaruhi banyak sektor dalam kehidupan. Selain perilaku ekonomi dan cara bersosial yang berubah, tata cara bersekolah pun otomatis ikut berubah. Demi meminimalisir penularan terhadap anak, kegiatan belajar di sekolah terpaksa harus dipindahkan ke rumah. Sementara, kurikulum dan kebijakan pendidikan lainnya yang menjadi pedoman pelaksanaan kegiatan sekolah dirancang berdasarkan situasi sekolah yang konvensional. Ketidaksesuaian ini kemudian menjadi tantangan baru bagi praktisi pendidikan di sekolah. Jangan sampai tindakan solutif belajar dari rumah menjadi penyebab gagalnya sekolah dalam mengantar siswanya sampai pada capaian pembelajaran yang telah direncanakan. Lebih penting lagi, jangan sampai situasi ini turut andil dalam menambah beban kognitif anak hingga menyurutkan semangat belajarnya.
Telah banyak perbincangan publik dan wacana kebijakan yang membahas solusi yang bisa diambil pihak sekolah dalam rangka adaptasi terhadap situasi yang baru ini. Mulai dari pembelajaran secara daring, wacana kurikulum darurat, hingga klasifikasi wilayah yang diperbolehkan melaksanakan pembelajaran tatap muka berikut tata caranya. Solusi yang ditawarkan tersebut tentu tidak serta merta bisa langsung diaplikasikan. Pihak sekolah perlu mengukur kemampuan dirinya dan situasi para siswanya untuk memilih cara bersekolah mana yang paling sesuai. Dalam hal ini, pihak sekolah perlu memberdayakan semua kemampuan dan kreativitas para guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang terukur dan tidak membebani anak dan lingkungannya.
Berlawanan dengan situasi idealnya, solusi pembelajaran daring yang dipilih banyak sekolah sebagai alternatif pelaksanaan pembelajaran menyisakan banyak pertanyaan. Mulai dari kesiapan infrastruktur yang mendukung pembelajaran tersebut, baik dari pihak sekolah maupun orang tua, hingga ketidakpercayaan orang tua terhadap laporan belajar anaknya. Situasi ini kemudian menunjukkan perilaku abai terhadap prinsip kesamarataan dalam pendidikan. Dimana, anak dengan fasilitas daring yang memadai memiliki kesempatan lebih luas dibandingkan mereka yang kondisinya sangat terbatas. Sementara, ketidakpercayaan orang tua terhadap laporan belajar anaknya menyisakan kesan buruk bagi profesionalitas guru dan pihak sekolah.
Bagi banyak sekolah di kota besar, yang telah akrab dengan penggunaan teknologi internet, belajar jarak jauh bukan hal baru. Mereka telah siap secara infrastruktur. Pun, guru-gurunya telah akrab dengan teknologi tersebut sehingga kegiatan belajar secara daring cenderung tidak menyisakan banyak masalah teknis. Sebaliknya, di daerah pedesaan, yang masih jarang memanfaatkan internet sebagai media belajar, situasi ini menjadi semacam bencana kecil baik bagi pihak sekolah maupun orang tua. Akibatnya, pembelajaran daring terkesan hanya sebagai kegiatan sampingan agar terlihat sekolah masih melakukan sesuatu di tengah libur yang panjang ini. Ketimpangan situasi ini tentu akan memunculkan beragam persepsi tentang sekolah di tengah pandemi. Mereka yang telah akrab dengan belajar jarak jauh akan mudah memahami dan beradaptasi dengan sekolah gaya baru ini. Sementara, pihak yang pontang-panting mengikuti gaya baru berekolah seolah-olah memberikan kesan sekolah yang membosankan, membebani dan jauh dari harapan pihak orang tua.
Situasi yang memunculkan persepsi baru tentang sekolah bagi banyak pihak ini pada dasarnya memberikan banyak peluang bagi sekolah untuk secara otomatis memperbaiki kualitas diri. Di antara kesan mahal dan menguras tenaga bagi guru dalam menyiapkan pembelajaran, baik secara daring maupun klasterisasi, ada situasi dimana guru dipaksa belajar, memperbaiki persepsi mengajar dan mendidik, serta menguasai keterampilan baru. Minimal, ada situasi dimana guru juga harus belajar seperti yang ia selalu pesankan pada murid-muridnya saat sekolah dengan gaya konvensional. Selain mendalami konten mata pelajaran, melalui sekolah virtual guru diberi kesempatan untuk berkreasi dalam membuat bahan ajar dan alat asesmen, yang selama ini umum mengikuti perangkat yang telah siap pakai. Selain itu, situasi darurat ini memberikan kesempatan pada guru untuk membangun pola komunikasi yang lebih baik dengan orang tua murid. Tidak hanya melaporkan perkembangan belajar anaknya, melalui situasi ini guru diberi kesempatan untuk berdiskusi tentang cara yang tepat dalam membimbing anak untuk tetap belajar meski sedang asyik di rumah. Pada akhirnya, pola komunikasi yang umumnya hanya satu arah akan berkembang menjadi sebuah dialektika antara guru dan orang tua. Tentu ini berita baik.
Bagi pihak orang tua, di antara tekanan budget yang membengkak akibat pandemi, orang tua diajak bersabar dalam mengenali dan menghadapi gaya dan kesulitan anaknya dalam belajar. Orang tua diajak berpikir seperti apa yang dipikirkan guru saat menghadapi anaknya di sekolah sehingga diharapkan ada pemahaman baru yang terbangun akibat situasi ini. Terbangunnya kepercayaan yang lebih baik terhadap gaya guru mendidik di sekolah.
Sementara, bagi sekolah, ini waktu yang tepat untuk mengidentifikasi pola komunikasi terbaik demi membangun kerja sama dalam program mendidik selanjutnya. Merancang program-program ekstrakurikuler dengan berbasis kebutuhan anak sesuai masukan dari orang tua. Membangun semangat kepemilikan terhadap sekolah dan program-programnya dalam mendidik anak-anak melalui komunikasi dua arah yang terbangun dengan baik